• Editorial
• Rudi Syahwani (Pemimpin Redaksi)
Pilkada serentak di Babel 2024 menyisakan berbagai catatan penting. Salah satunya bahwa status calon Petahana tidak menjadi sebuah jaminan untuk menang. Bahkan saat menjadi calon tunggal, yang hanya berhadapan dengan kolom kosong.
Sejarah dicatatkan oleh para volunteer kotak kosong. Bahwa tampil sebagai calon tunggal dalam gelaran Pilkada bukanlah strategi aman untuk menjadi pemenang kontestasi.
Belajar dari Pilkada serentak 2024 di Bangka Belitung, keputusan menjadi calon tunggal ternyata justru menjadi pemicu munculnya gerakan perlawanan sporadis.
Seandainya saja, mereka yang hari ini mereka menciptakan ‘musuh palsu’ untuk seolah-olah menjadi penantang dalam Pilkada serentak ini, yang pasti tak akan ada yang namanya gerakan Kotak Kosong. Artinya musuh abal-abal yang dipasangkan sebagai lawan palsu, merupakan treatment untuk mengantisipas munculnya gerakan kotak kosong, yang mengajak para pemilih mencoblos kolom kosong. Karena aturan kolom kosong hanya berlaku untuk situasi di mana hanya ada 1 Paslon yang akan bertanding.
Fenomena ini cukup mengagetkan, bahkan bagi para pengamat politik. Tak banyak yang menduga gerakan ini kemudian membuat Pilkada serentak tahun 2024 di Bangka Belitung mirip ‘kuburan massal’ para petahana. Karena secara umum Pilkada 2024 di Babel mencatat 5 kontestan yang bisa dibilang berstatus petahana harus tumbang secara mengejutkan.
Tak hanya petahana, mereka yang tumbang hari ini bahkan berstatus sebagai calon kuat. Seperti Erzaldi Rosman yang harus menelan pil pahit kalah atas Hidayat Arsani. Atau Mulkan dan Molen yang harus takluk dengan kotak kosong. Hampir tak terbayangkan bahwa masih ada potensi pergerakan akar rumput yang sesungguhnya bisa bergerak lurus dalam alur demokrasi, yang menghacurkan strategi aroma oligarki.
Seperti David versus Goliath, di mana kotak kosong seperti perumpamaan petarung dari kelas proletar ternyata mampu memanfaatkan kelemahan dari Goliath berupa konfidensi. Dalam sejarahnya Goliath adalah prajurit yang sangat diunggulkan untuk memenangkan pertarungan atas David. Namun takdir berkata lain. Bahwa Goliath harus terkapar ditumbangkan oleh David yang ukuran tubuhnya pun separuh dari Goliath.
Catatan penting lainnya adalah bahwa status petahana tidak serta Merta menjadi modal membangun konfidensi yang justru membuat terlena. Termasuk tampil sebagai Paslon tunggal, bukanlah sebuah strategi jitu sebagai ‘jalan toll’ untuk menang mudah.
Bangka Belitung pada tanggal 27 November 2024, benar-benar menjadi kuburan massal para petahana, calon kuat dan calon tunggal. Bukti bahwa yang dibutuhkan itu adalah ‘aklamasi’ dari rakyat selaku pemilik kedaulatan dalam sistem demokrasi, bukan aklamasi dari Partai penghuni Parlemen. Karena kemenangan kotak kosong bisa dipersepsikan tamatnya karir politik sang calon. Karena kemenangan kotak kosong merupakan pilihan murni masyarakat. Karena kotak kosong mampu mengalahkan tanpa visi misi, apalagi tebar janji.
Dari Bangka Belitung ini seluruh wilayah di Indonesia akan membuat pelajaran, bahwa strategi yang paling benar adalah membuat musuh palsu, dari pada menciptakan musuh alami. Karena dari Pilkada serentak di Babel, kita harus kembali lagi pada kesepakatan bahwa dalam sistem demokrasi, kedaulatan yang hakiki itu ada di tangan rakyat yang sekaligus menjadi musuh alami dari predator demokrasi.
Selamat kepada mereka yang sukses melewati kontestasi Pilkada ini, kepada yang terpilih semoga amanah, kepada semua semoga memetik hikmah. Khusus kepada pada volunteer Kotak Kosong di Bangka Belitung… Selamat kalian telah membuktikan sesuatu, dan menciptakan sejarah yang akan menjadi catatan dalam politik. Ternyata Kotak Kosong lebih berbahaya. (**)