Opini
Penulis adalah : Andriani
Wartawan yang tidak punya gelar S3
HaluaNusantara.com – Ada-ada saja aktivis anti korupsi di tercinta ini. Bukannya menjadi kontrol dan pendorong perkara-perkara dugaan korupsi, malah declare menjadi benteng bagi mereka yang justru terindikasi terlibat korupsi.
Sebetulnya enggan mengomentari, hanya saja ini terlihat kocak, meski boleh disebut anti mainstream. Kemudian, ini mulai jadi fenomena di mana mereka (yang mengaku) aktivis anti korupsi, yang biasanya getol berkomentar di media, mendadak sunyi, bahkan ikut beringsut di bawah ketiak mereka yang hari ini diteriakkan atas dugaan terlibat tipikor kelas kakap.
Fenomenanya ada yang mirip pengacara sang terduga. Selain melemparkan komentar kontra opini (tanpa dasar), hingga mengklarifikasi memastikan bahwa yang bersangkutan tidak terlibat, orang baik dan bersih. Entah apa dasarnya.
Karena ini sudah masuk tahapan Pilkada, kontra opini nya adalah motif politik. Bahkan menuduh dibayar. Seperti menepuk air di dulang, atau mengukur baju di badan. Para aktivis munafik ini memuji sang Zalim dan menuduh media sebagai alat politik.
Lucu memang, mereka seperti mengatai gerombolan media yang justru dipelihara dan dibayar receh setiap bulannya, untuk membangun citra dan legitimasi sang calon pemimpin Zalim.
Kadang kala saya berfikir, butuh menelan berapa butir bodrex bagi mereka, untuk mengucapkan statement terbalik tersebut. Karena butuh kondisi setengah sadar untuk tidak malu dengan kemunafikan yang mereka lakukan dan ucapkan. Memang ada yang gelarnya mentereng, ada juga yang kelas menengah, sampai mereka yang bahkan tak bisa membaca.
Awalnya memang aneh dan lucu. Aktivis anti korupsi kok gitu…?? Tapi sekarang saya coba berfikir positif, toh walau aktivis anti korupsi, mereka juga butuh makan, walau harus menjadi munafik, menjadi benteng yang justru memberitakan masalah dugaan tindak pidana korupsi.
Sebagai penutup, saya coba kasih pencerahan, bahwa yang menjadi motif politik itu adalah, langkah penundaan proses hukum, bagi para peserta Pilkada. Itu jelas motif nya untuk kepentingan politik (sang calon). Justru seharusnya para aktivis anti korupsi teriak yang ramai, supaya penegak hukum tidak mengeluarkan kebijakan seperti itu. Hukum yang harus menjadi Panglima, bukan politik yang menjadi Panglima. Supaya, mereka yang terindikasi korupsi, tidak berkesempatan menjadi pemimpin lagi. Karena mereka harus bertanggung jawab atas perbuatan Korupsi yang diduga pernah melibatkannya.
Kisah yang saya tulis sebagai opini ini didasarkan oleh kisah di sebuah provinsi di negeri Konoha, yang tidak ingin disebut namanya.
Sebelum saya akhiri, saya tanya buat bung-bung aktivis anti korupsi. Memangnya bung aktivis mau, pemimpinnya ada bau-bau korupsi…? Aktivis Anti Korupsi kok gitu…???
“Salam Anti Korupsi…!!!”(**)