Dilema PT. Timah Antara Mengakomodir Penambang dan Tudingan Penampung Timah Ilegal

redaksi
Cab2d91f Fe4f 4ec0 Bd98 Ac504d0ffd27

HaluaNusantara.com

Oleh : Rosy Maharani
(Wartawan)

PANGKALPINANG – Ditertibkan disebut arogan, diakomodir dituding menampung timah ilegal. Terus mau nya bagaimana? Kira-kira ini kondisi yang dialami oleh PT. Timah terkait kebijakan pengamanan aset atau pengamanan objek vital, yang dikeluarkannya. Bukan sekali, akan tetapi acapkali PT. Timah harus dihantui dengan sebutan menampung timah dari aktivitas penambangan ilegal, yang dilakukan oleh penambang tak berijin di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) PT. Timah.

Saya pernah berbincang-bincang dengan Kepala Divisi Pengamanan PT. Timah Tbk, bapak Wing handoko, terkait apa itu Pam Aset atau Pam Obvit, dalam sebuah perbincangan di luar wawancara, saya mencoba sekedar menambah literasi mengenai program ini dan kaitannya dengan SPK Jasa Borongan dan Pengankutan.

Dalam penjelasannya pak Wing menjelaskan secara umum bahwa pihak PT. Timah melalui divisi pengamanan bermaksud mengamankan aset berupa cadangan bijih timah yang diambil melalui aktivitas penambangan di WIUP PT. Timah yang tidak mengantongi ijin. Tapi bukan merampas, akan tetapi dengan menebus. Artinya PT. Timah tidak ingin menerapkan cara-cara represif. Justru kebijakan merilis Surat Perintah Kerja (SPK) jasa Borongan dan Pengankutan ini diperuntukkan sebagai wadah memanusiakan para penambang ilegal.

Cukup logis langkah ini, karena setidaknya para penambang yang biasanya khawatir akan terkena operasi penertiban, bisa merasa lebih aman dalam beraktivitas. Konsekwensinya… Bijih Timah yang dihasilkan wajib diserahkan kepada pemilik IUP, melalui pos penimbangan. Selebihnya itu teknis pihak perusahaan mitra pemegang SPK Jasa Borongan dan Pengangkutan yang atur. Atrinya praktek di lapangan bisa disesuaikan, karena substansinya adalah bagaimana bijih Timah yang merupakan aset wajib diamankan. Yang terpenting dan perlu digaris bawahi adalah, bijih Timah yang dimaksud berasal dari IUP PT. Timah. Jika di luar IUP, Wajib ditolak, karena itu bukan hak PT. Timah.

Dari perbincangan dengan bapak Wing Handoko saya juga baru tau, bahwa dalam pelaksanaan SPK Jasa Borongan dan Pengangkutan ini, sejatinya PT. Timah tidak bertanggung jawab secara lansung atas resiko bagi siapa pun yang melakukan penambangan di IUP nya. Bahkan perusahaan mitra pemegan SPK Jasa Borongan dan Pengangkutan pun tidak punya kewajiban bertanggung jawab. Lha kok bisa? Ternyata alasannya karena aktivitas penambangan tersebut bisa dibilang sporadis, artinya tanpa koordinir.

Penambang paham bahwa resiko mereka yang pertama adalah penertiban. Namun atas kesepakatan memulangkan hasil yang diperoleh dari aktivitas penambangan ke pihak pemilik IUP, akhirnya gugurlah resiko yang tadi. Tapi itu tidak serta merta. Jika ada upaya menggelapkan hasil produksi tambangnya, opsinya ditertibkan atau ditindak. Kemudian resiko kecelakaan kerja, itu sangat mungkin terjadi. Namun jika kita kembalikan lagi ke dasar permasalahan, bahwa PT. Timah sejatinya tidak pernah mengijinkan aktivitas penambangan, karena kewajiban untuk mengamankan aset cadangan bijih Timahnya.

Namun upaya untuk bisa mengakomodir masyarakat yang hidup dari sektor tambang, maka dibuatlah kebijakan ini. Setidaknya ada simbiosis mutualisme yang jelas di sini. PT. Timah dapat mengamankan bijih Timahnya, masyarakat bisa mendapatkan pekerjaan di IUP PT. Timah, tanpa harus khawatir ditertibkan, karena para pelaku pertambangannya tidak mengantongi ijin. Namun
Lantas perbedaan dengan SPK Jasa Penambangan? Ada perbedaan yang signifikan. Dalam aturan mainnya, perusahaan mitra PT. Timah pemegang SPK Jasa Penambangan, jelas diberikan tugas melakukan aktivitas penambangan dalam IUP PT. Timah. Dalam SPK nya jelas ada beberapa pointer, di antaranya pembatasan jumlah unit PIP yang disetujui. Lebih dari itu, tetap saja ditertibkan meskipun mengantongi ijin.

Sedangkan untuk SPK Jasa Borongan dan Pengangkutan tidak ada aturan pembatasan, karena memang masyarakat melakukan nya secara sporadis. Tapi inti dari kedua jenis kebijakan ini adalah bagaimana PT. Timah berupaya mengamankan bijih timah yang merupakan cadangannya.
Lantas atas kebijakan inilah PT. Timah harus berhadapan dengan resiko dituding menampung timah ilegal. Padahal ada tujuan win-win solution dalam kebijakan SPK Jasa Borongan dan Pengankutan tersebut. Bukan kah hari ini teriakan dari berbagai pihak yang mengklaim sebagai pejuang tambang rakyat, menginginkan masyarakat yang menggantungkan hidupnya sebagai penambang bisa bekerja dengan tenang. Tanpa harus takut diuber-uber penegak hukum. Jelas bahwa permasalahan mengeluarkan regulasi untuk melegalkan penambangan rakyat bukan solusi yang butuh waktu singkat. Semestinya simbiosis mutualisme yang terbangun dalam program Pam Aset bisa menjadi solusi sementara. Intinya masyarakat masih bisa terus bekerja dengan tenang.

Terkait harga tebusan yang diperoleh dari mitra, sudah pasti tak sama dengan harga yang ditebus oleh kolektor. Jelas donk, kolektor tak bertanggung jawab soalan reklamasi pasca penambangannya. Jadi imbas tanggung jawab PT. Timah, maka harga harus dipahami tak mungkin sama. Tapi tak merugikan, tentu pertimbangan biaya operasi tentunya sudah dikalkulasi dalam biaya tebusannya. Akan tetapi jika langkah ini kemudian berbuah tudingan sebagai penampung timah ilegal, berarti PT. Timah harus kembali menertibkan masyarakat yang melakukan penambangan tanpa ijin di dalam WIUP nya. Namun PT. Timah nanti akan mendapat tudingan lagi sebagai perusahaan BUMN yang ilegal. Lantas maunya bagaimana?(**)

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: