HaluaNusantara.com
Rudi Sahwani (Pemimpin Redaksi)
PANGKALPINANG – Sepekan ini sorotan berbagai media di Babel tertuju pada kisruh tak jelasnya penyaluran dana kompensasi dari perusahaan pengoperasi Kapal Isap Produksi (KIP). Akumulasi dana yang ditenggarai mencapai milyaran rupiah tersebut, informasinya dikelola oleh beberapa pihak yang menamakan dirinya “Panitia.” Dana yang seharusnya disalurkan dan dinikmati oleh masyarakat wilayah, nelayan dan pendanaan rumah ibadah tersebut, diduga tak tepat sasaran. Bahkan cenderung dinikmati segelintir orang dan kelompok dalam kemasan ormas, LSM hingga wartawan.
Awalnya redaksi tidak begitu peduli akan kisruh tersebut. Toh bukan uang milik negara atau kekayaan negara yang digerogoti. Namun jika kita bicara soal “dana umat” atau “dugaan penyimpangan dana umat,” mungkin cerita nya bisa berbeda. Karena jelas dana tersebut merupakan sumbangan yang ditujukan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Sementara ini kisruh meributkan soal pengelolaan nya yang diduga banyak bocor ke kantong pribadi.
Ini mengingatkan kita akan dana sumbangan yang dikelola lembaga filantropi bernama ACT. Saya sendiri sedikit kaget ketika tiba-tiba Bareskrim Mabes Polri. Karena ACT bukan lembaga yang mengelola dana pemerintah atau negara. Namun ACT selaku lembaga yang konsern dalam masalah kemanusiaan, menjadi kantong sekaligus pengelola dana sumbangan (dari umat). Logikanya mau diselewengkan pun, negara tidak menjadi dirugikan. Begitu kira-kira analognya. Tapi kok bisa diperiksa Aparat Penegak Hukum? Ternyata penyelewengan dana tersebut untuk keperluan pribadi bisa menciptakan potensi bagi penyidik masuk.
Nah kembali ke laptop, pekan media ramai beritakan bahwa dana kompensasi dari perusahaan pengoperasi KIP, ditenggarai tak jelas alirannya. Jika pun ada mungkin tidak optimal. Suara-suara sumbang yang membantah bahwa dana yang lancar dan rutin dikucurkan oleh pihak perusahaan KIP, diduga tidak berbanding lurus dengan penyalurannya.
Setidaknya berdasarkan dari pengakuan Kepala Lingkungan Matras, Anggi Mesya yang bahkan tak begitu tau dana tersebut siapa yang menerima, kapan dan berapa besaran pencairan yang diterima warganya.
Gilanya lagi, berdasarkan informasi dari data peruntukan, pihak-pihak yang menamakan diri selaku panitia justru mengalokasikan sejumlah dana kepada pihak yang tidak sesuai kapabilitasnya. Sebut saja mulai dari LSM, Ormas, media bahkan penasehat hukum panitia. Berdasarkan keterangan dari pihak pengurus kampung, bahkan jatah satu orang bisa melampaui bagian penerima kolektif seperti Masjid. Lebih miris lagi, informasi yang dituturkan oleh Kepala Lingkungan Matras, bahwa dana tersebut bahkan tak jelas pertanggung jawabannya.
Satu lagi, tertera pula peruntukan dana kompensasi tersebut untuk media atau wartawan. Di sini terlihat tak jelas kapabilitas media yang dimaksud menjadi pihak penerima. Apakah sebagai humas atau untuk meredam kebisingan. Namun intinya, ini menjadi ironis manakala terdengar kisruh bahwa justru masyarakat dibelah oleh kompensasi tersebut. Menurut Anggi Mesya selaku Kaling Matras, dana kompensasi tersebut tidak dibagikan secara merata. Artinya ada yang menerima ada yang tidak.
Para panitia selaku pengelola dana, dikatakan membagikan dana tersebut tanpa kejelasan dasar perhitungan. Artinya ada yang harusnya terungkap di sini, berapa total akumulasi dana yang disebut kompensasi KIP tersebut sudah disalurkan oleh pihak pemilik KIP sejak pertama kali dikucurkan, siapa yang menjadi kantong perantara sekaligus pengelolanya, dan berapa sebenarnya yang sudah tersalurkan kapada masyarakat berhak. Untuk mendapatkan kesimpulan sudah proporsional kah jumlah yang diterima oleh mereka yang berhak? Atau mungkin memperjelas dugaan bahwa dana untuk umat atau dana untuk rakyat yang dalam sebutannya dinamakan kompensasi tersebut justru banyak digunakan untuk kebutuhan pribadi oknum panitia, LSM, Ormas, Media dan Penasehat Hukum.
Ini agak mirip dengan dugaan penyelewengan dana umat yang kini membelit lembaga filantrophi Aksi Cepat Tanggap (ACT). PT. Timah Tbk, selaku pemegang konsesi di mana sebagian besar KIP pemberi dana kompensasi tersebut beroperasi, telah melakukan langkah cepat dengan memerintahkan para KIP selaku mitranya untuk berhenti dulu menyalurkan kompensasi. Ini juga sebuah indikasi bahwa proses penyaluran dan pengelolaan dana umat tersebut tidak jelas atau mungkin tak beres.
Berkaca dari sini akankah aparat penegak hukum (APH) berpotensi untuk masuk melakukan penyelidikan untuk kemudian menjadi sebuah dugaan pelanggaran hukum. Sebagaimana Bareskrim Mabes Polri kemudian melakukan langkah-langkah penegakan hukum.(***)